SUARABMI.COM - Hongkong, Dari sini kita akan menguak kehidupan TKI yang seringkali diberitakan di media massa dengan melihat kenyataannya. Banyak hal yang saya pertanyakan ketika saya melihat ada seorang ibu-ibu yang rela meninggalkan anaknya demi berangkat ke negeri asing yang dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan di negeri tersebut.
Kini semua terjawab, setelah saya menjadi TKI di hong kong, kehidupan ekonomi yang serba kekurangan, broken home, dan harapanlah menjadi penyebabnya.
Perbedaan yang mencolok sekali apabila melihat Hongkong dan Indonesia. Mulai dari sarana transportasi, geografis, dan tingkat kedisiplinan warganya.
Pertama yang akan kita lihat bila sampai di Bandara Internasional Hongkong yaitu kebersihan dan keteraturan dalam pengelolaan fasilitas bandara. Pegawai yang bekerja di bagian administrasi bandara tersebut terlihat sangat disiplin. Mereka dengan senang hati mengantarkan penumpang menuju ke tempat administrasi sehingga tidak akan terjadi keributan karena berebut untuk saling mendahului. Pemandangan ini akan terlihat sangat berbeda sekali dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
[ads-post]
Setelah keluar dari bandara kita bisa memilih transportasi untuk ke tempat yang kita tuju. Hongkong memiliki alat transportasi dalam kota seperti, kereta api, tram, bus, taksi dan feri. ternyata semua transportasi ini hampir bisa dibayar dengan sebuah kartu yang disebut Octopus Card.
Pemandangan tebing-tebing batu akan kita lihat bila menggunakan bus. tebing-tebing batu ini dilapisi semen untuk menjaga agar batu-batu tersebut tidak longsor. Di tengah jalan, kita tidak akan melihat polisi melainkan kita akan melihat hidden camera bila mata kita cukup jeli. Jalan yang lengang dan sepi. Hanya satu dua bus yang terlihat, tentu berbeda sekali dengan pemandangan di kota Jakarta yang padat kendaraan. Disini, bus tetap akan beroperasi walaupun tidak ada penumpang karena pegawai bus sudah digaji oleh pemerintah. Kita juga tidak perlu menunggu berlama-lama dan tidak usah takut ketinggalan karena bus di negara ini pasti akan berhenti setiap 10 menit sekali di halte.
Setelah sampai di tempat peristirahatan, kami mencoba melihat kehidupan di Hongkong. Saat weekend dan hari libur lainnya terlihat banyak sekali TKI, terutama yang berjenis kelamin wanita, yang sedang melepas penat di taman, depan hotel tempat kami tinggal. Ramai, hiruk pikuk, inilah pemandangan yang lazim ditemukan di antara para imigran Indonesia. Walaupun ada yang kelihatannya seperti orang Hongkong karena tampilan para TKI ini bisa dibilang modis, tapi suatu ketidaksengajaan ketika mendengar mereka bicara ternyata mereka berbicara bahasa Jawa. Wah, ini cukup menakjubkan karena bahasa Jawa kedengarannya agak mirip dengan bahasa orang Hongkong sehingga seperti tidak ada perbedaan dialek antara masyarakat Hongkong dan Jawa.
Agak mengejutkan juga melihat banyak orang yang berjalan kaki dan minimnya kendaraan disana. Pedestrian punya rambu lalu lintas sendiri sama seperti kendaraan. Walaupun ada lampu merah dan hijau untuk pedestrian, tetap ada suara 'tuk tuk tuk tuk ' yang berkepanjangan. Ternyata suara ini sangat berguna bagi tunanetra untuk menandai apakah mereka boleh menyeberang atau tidak.
Sebuah fakta lain dari sisi dari Hongkong. Tentang tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita, sangat memprihatinkan. Mungkin problem yang dialami bermacam-macam. Dari bertemu majikan yang baik hati sampai pada majikan yang suka menyiksa. Harapan menjadi makmur setelah menjadi TKI pun tidak tercapai. Justru perlakuan yang tidak senonoh yang menjadi keluhan pada pemerintah saat kontrak mereka sudah habis ataupun saat mereka benar-benar tersiksa oleh majikannya.
Disini kita akan berbicara tentang TKI khususnya TKI yang menjadi PRT (pembantu rumah tangga) di Hongkong. Untuk sebagian PRT menjadi TKI itu biasa saja karena mereka bertemu dengan majikan yang baik dan memperhatikan kebebasan mereka, tapi untuk PRT yang bernasib buruk tentu hal ini akan terasa bagai di neraka. Di suatu pagi, hari minggu, banyak sekali TKI wanita yang kelihatannya sedang duduk-duduk -mungkin tepatnya tamasya di taman- nonton TV channel Indonesia, makan makanan Indonesia, dan berkumpul bersama-sama orang Indonesia walaupun mereka tidak saling kenal. Ini hal yang lumrah karena manusia cenderung untuk berkumpul dengan orang-orang yang dirasa satu nasib. Tapi, ada satu pemandangan yang mengejutkan. Kebanyakan wanita yang ada di taman itu ternyata lesbi. Mereka tidak malu untuk mempertontonkan hal yang dianggap tabu, seperti berpelukan dan berciuman di tempat umum. Sungguh hal yang menyedihkan. Para imigran yang tadinya pergi dengan moral yang baik menjadi seperti kaum nabi Luth. Sangat terlihat sekali bahwa mereka mengalami kesepian ketika berada di negara orang dan jauh dari keluarga.
Tetapi, banyak juga orang-orang yang tetap berpegang pada iman. Mereka tetap mengikuti organisasi keagamaan serta mengadakan pengajian akbar setiap satu bulan sekali. Salah satu hal yang menjadi keluhan dari para imigran ini yaitu ketidakpedulian pemerintah terhadap mereka. Sehingga terkadang mereka lebih memilih diam daripada berbicara tapi tidak diacuhkan. Dimana suara dan aplikasi undang-undang yang mengatur tentang penempatan dan penghidupan yang layak bagi para TKI? Ini benar-benar patut dipertanyakan.
Sebenarnya menjadi TKI bukanlah hal yang buruk, asalkan mempunyai kompetensi yang bagus pada bidang yang benar-benar dibutuhkan di negara yang dituju. Selain itu, hendaknya para TKI ini lebih diperhatikan dan diberikan perhatian sehingga mereka masih bisa merasakan kebahagiaan walaupun jauh dari tanah air sendiri.
Karena Devisa negara dapat meningkat berkat adanya para TKI sehingga, pantaslah bila para TKI itu disebut pahlawan devisa. [arum-ct]